Rabu, 13 Januari 2010

Wisata Kemiskinan Jakarta



Dulu Cuma Tonton di TV, Kini Bule Bisa Jelajahi Sendiri

Ruang tamu itu terlihat sangat berantakan. Kardus-kardus berisi pakaian,
sepatu, dan tas bekas terserak di lantai. Meja tamu tertutup dengan
tumpukan buku, majalah, dan koran.

Seperangkat komputer tergeletak di sudut ruangan tersebut. Di ruangan
inilah sang tuan rumah, Ronny Poluan, menjalankan bisnis perjalanan wisata
Jakarta Hidden Tour (JHT).

"Beginilah tempat saya bekerja. Maaf agak berantakan," jelas Ronny saat
detikcom menyambangi rumahnya di Pondok Kelapa Blok 5A, No 8, Jakarta
Timur, Rabu (13/1/2010).

Baru saja perbincangan dimulai, Ronny langsung menjelaskan perihal
kardus-kardus yang terserak di ruang tamu. Menurutnya, 15 kardus berisi
pakaian, sepatu dan tas bekas itu merupakan pemberian dari kliennya, para
turis asing yang sempat diantar melihat daerah-daerah miskin di Jakarta.
Barang-barang itu datang dua hari lalu untuk nantinya dibagikan kepada
warga miskin yang sudah didatangi.

"Turis-turis yang pernah saya antar ke daerah kumuh meminta saya untuk
menyalurkannya ke tempat-tempat yang sebelumnya mereka kunjungi," ujarnya.

Dikatakan Ronny, para turis yang pernah diantarnya mengunjungi daerah kumuh
di Luar Batang, Galur, dan Kampung Pulo, juga mengirimkan uang dengan
jumlah yang bervariasi. Ada yang mengirimkan Rp 1 juta, ada juga yang
mengirim Rp 5 juta. Uang-uang tersebut, kata Ronny, sudah disalurkan kepada
masyarakat di tiga wilayah tersebut.

Sejak Januari 2008, Ronny memang mulai menjalankan usaha perjalanan wisata
yang sangat unik. Ronny menawarkan tur ke daerah kumuh di Jakarta dan bukan
lokasi bersejarah atau tempat-tempat indah dan modern, seperti yang
dilakukan sejumlah biro perjalanan wisata pada umumnya.

Gagasan paket wisata kemiskinan di Jakarta bukan sengaja direncanakan oleh
Ronny. Semua terilhami saat Ronny mengantarkan seorang fotografer Prancis,
Herve Dangla mengunjungi Museum Bahari, di daerah Pasar Ikan, Jakarta
Utara. Saat itu Herve merasa kurang puas kalau mereka hanya memfoto-foto
benda tidak bergerak.

Lantas, ia pun bertanya kepada penjaga museum yang bernama Maskun,
dimanakah Maskun tinggal. Ternyata tidak jauh. Maskun tinggal di Luar
Batang yang hanya ratusan meter dari museum. Ronny dan Herve langsung
meminta diajak ke rumah Maskun. Ketika tiba di rumah Maskun, Ronny dan
Herve mendapatkan sambutan yang sangat hangat sekalipun kehidupan Maskun
memprihatinkan. Perjalanan itu menjadi sangat berkesan untuk Herve, turis
yang dibawa Ronny.

"Saya dan teman saya saat itu merasa enjoy. Tidak ada rasa takut maupun
risih berbincang-bincang dan foto-foto di lingkungan rumah Maskun," kenang
Ronny.

Nah, dari pengalaman itu Ronny pun terpikir untuk mengajak orang asing
berkunjung dan melihat-lihat daerah kumuh, seperti Luar Batang. Bagi Ronny,
kondisi kumuh bukan suatu hal yang menjijikan untuk dikenang. Potret
kemiskinan ternyata dinilai para turis bule sebagai sesuatu yang eksotis
dan unik.

Apalagi banyak turis asing yang sudah jenuh dengan suasana Jakarta yang
modern, seperti yang ditawarkan biro perjalanan wisata lainnya. "Bule-bule
itu sudah bosan melihat gedung bertingkat. Negara mereka jauh lebih maju
dari Jakarta," ujar Ronny.

Pendapat Ronny ternyata terbukti. Sebagian besar turis asing serta kenalan
yang diantarnya mengucapkan kekaguman atas paket wisata unik dari Ronny.
Mereka bilang, dengan mengunjungi daerah miskin di Jakarta, mereka punya
gambaran utuh. Selain itu, mereka terpuaskan karena bisa berinteraksi
langsung dengan masyarakat Indonesia di lapisan ekonomi terbawah yang
sebelumnya hanya mereka saksikan di televisi, atau pemandangan sekelebatan
dari bus wisata atau taksi yang mereka tumpangi.

Sayangnya, meski paket wisata yang ditawarkan Ronny banyak mendapat decak
kagum dari turis yang mengikutinya, tidak demikian dengan pemerintah. Paket
wisata yang tidak biasa ini menuai protes dari Pemprov dan DPRD DKI Jakarta
karena dianggap telah mengeksploitasi kemiskinan.

Pemprov dan DPRD DKI Jakarta menganggap paket wisata yang mengunjungi
kantong-kantong kemiskinan telah melenceng dari tujuan kepariwisataan. Yang
disodorkan Ronny bukanlah keindahan, melainkan kemiskinan dan kekumuhan.
Bahkan ada yang menuding Ronny hanya ingin mencari untung dari menjual
kemiskinan warga Jakarta. Menanggapi hal itu, Ronny hanya tertawa. Sambil
berkelakar ia mengatakan, lebih baik menonjolkan kemiskinan daripada
memamerkan kekayaan.

"Kita hanya mengajak para turis melihat realita apa adanya. Sejauh ini
tanggapan mereka sangat positif kepada masyarakat kita. Bahkan mereka siap
membantu," kata Ronny.

Ia juga membantah kalau aktivitas yang dilakukannya hanya mencari untung
semata. Sebab, uang yang dibayarkan para turis, sebagian disalurkan kepada
kelompok masyarakat yang menjadi obyek wisata tersebut.

Sebagai informasi, paket wisata kemiskinan yang dilakukan JHT bila dikurs
ke dalam rupiah tarifnya berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta. Harga
yang dipatok masih bisa ditawar, tergantung negosiasi. Tapi memang, aku
Ronny, kebanyakan turis asing tidak suka tawar-menawar. Bila mereka merasa
cocok maka langsung membayar.

Kata Ronny, kegiatan wisata ke lokasi kumuh tersebut tidak untuk mencari
keuntungan. Tujuan sesungguhnya adalah membuka pintu interaksi sosial
budaya bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat dari dunia lain.

"Kalau untuk biaya operasional saya sudah ditanggung salah satu pendana,"
pungkas pria berambut putih tersebut.

Tidak ada komentar: